Matahari belum tenggelam, menyinari jagat raya. Kehangatan senja menemani insan yang pulang ke rumah masing-masing. Tepat pada saat adzan maghrib berkumandang, reporter DK sampai di depan sebuah gapura bertuliskan “marhaaban bi qudumikum“. Ya…sebuah ucapan hangat yang khas untuk menyambut kedatangan para tamu, baik yang hanya mampir saja untuk sholat, ataupun bagi para tamu yang sengaja berkunjung. Di dalamnya tampak bangunan masjid dengan ciri arsitektur Minangkabau, yang walaupun kelihatan tua, tapi masih tetap utuh dan berdiri dengan megahnya.
Tiada lain, kalau bukan Perguruan Thawalib. Ya, pesantren yang didirikan oleh Dr. H. Abdul Karim Amrullah pada tahun 1911 itu, aromanya masih tetap menggema sebagai sebuah perguruan yang telah lama malang-melintang di dunia pendidikan. Berdiri tegak di antara dua kaki gunung, yaitu gunung Tandikat dan Singgalang. Di sebuah perkampungan yang masih mencitrakan adat istiadat yang kuat serta kultur yang masih melekat menjadi pijakan warganya. Untuk menuju ke Perguruan Thawalib sangatlah mudah, selain karena keterkenalan pesantrennya, juga letaknya sangat strategis, berada di tengah kota Padang Panjang (sekitar 80 km dari kota Padang).
Perguruan Thawalib merupakan salah satu contoh sebagai pesantren yang masih bertahan dari mulai zaman penajajahan Belanja hingga zaman modern ini. Dari tahun 1911 sampai sekarang, bukanlah waktu yang singkat, apalagi untuk mempertahankan ciri khas pesantren. Ciri khas pendidikan pesantren, kultur dan spirit perjuangan masih tetap terjaga.
Pase demi pase telah dilewati oleh perguruan Thawalib. Pada tahun 1923, Perguruan Thawalib terlibat dan ikut berjuang melawan segala bentuk imperialisme. Kemudian pada tahun 1926, Padang Panjang dilanda gempa bumi, sehingga memporakporandakan kota indah tersebut, termasuk bangunan Perguruan Thawalib yang pada waktu itu sedang mekar-mekarnya.
Sempat juga mengalami masa kemandegan ketika terjadi pergolakan hebat pada tahun 1958. Saat itu, situasi di Sumatera tidak aman, perekonomian mengalami kehancuran, sehingga lembaga-lembaga pendidikan termasuk Perguruan Thawalib Padang Panjang pun mengalami kemandegan.
Alhasil, semuanya dilalui secara almiah, seolah sunnatullah bagi Perguruan Thawalib yang harus dilewati dengan semangat pantang menyerah. Gigih berjuang melawan imperialisme Belanda, PKI bahkan musibah sekalipun. Sehingga wajar kalau gerak jihad fi sabilillah menjadi tonggak garda depan yang diemban Perguruan Thawalib.
Secara kepemimpinan, Perguruan Thawalib pernah dipimpin oleh Dr. H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), kemudian Datuk Panglimo Kayo, Engku Mudo Abdul Hamid Hakim, Buya Mawardi, Buya Drs Abbas Arif, Prof. DR. Thamril Kamal, MS dan sekarang ini dipimpin oleh Buya H. Jusril Jamarin, LC, MA (baru ditetapkan dan mulai berkiprah sejak Januari 2006 ini). Walaupun terdapat perbedaan pola kepemimpinan, akan tetapi semua komponen masyarakat Sumatera Barat dan Padang Panjang khususnya senantiasa mengenal dan mengakui integritas kepemimpinan Perguruan Thawalib. Sebab, di samping kekuatan personal, kepemimpinan Perguruan Thawalib ditandai dengan adanya kepemimpinan kolektif dan kebersamaan.
Kepemimpinan dilakukan secara terpadu di bawah satu kepengurusan dengan pembagian tugas dan kerja yang jelas dan terarah. “Ya, kepemimpinan di Perguruan Thawalib sangat mengedepankan kolektifitas…” jelas Prof. Dr. Thamrin Kamal, MS, mantan Direktur Perguruan Thawalib yang sekarang menjabat sebagai Ketua Yayasan Perguruan Thawalib.Dari aspek pembelajaran, Perguruan Thawalib sangat mengedepankan pada adanya “hurriyatul fikri” atau kebebasan berfikir dan aspek “perjuangan.” Dengan metode ini santri tidak hanya mengikut akan tetapi memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan, baik dalam konteks pemahaman teologis, fiqih maupun dalam konteks sosial kemasyarakatan lainnya. Namun yang sangat mendasar adalah bahwa santri harus memiliki jalan hidup yang islami, berpegang teguh kepada kebenaran serta memiliki etos kerja yang tinggi sehingga berguna bagi masyarakat.
Dari segi kurikulum, Perguruan Thawalib, di samping kurikulum pesantren, juga mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Agama, baik pada tingkat Tsanawiyah maupun Aliyah serta keterampilan komputer dan lain-lain sebagainya. Walaupun terasa berat oleh santri, akan tetapi hasil dari didikan Perguruan Thawalib ini berhasil memasuki perguruan tinggi baik umum maupun agama, bahkan setiap tahun, dengan dukungan beasiswa dari masyarakat beberapa santri Thawalib diterima di Universitas Al Azhar Kairo dan Universitas lainnya.
Dengan dasar hurriyatul fikri tadi, Perguruan Thawalib tidak berafiliasi dengan partai politik apapun. Walupun beberapa orang Thawalib ada yang aktif di partai politik seperti PPP, PAN, Partai Golkar dan partai politik lainnya, hal itu bukan merupakan kebijakan Perguruan, tetapi merupakan bagian dari kebebasan berfikir. Dan ketika masuk ke Thawalib mereka yang aktif di partai politik tadi harus meninggalkan baju partai, agar tidak menimbulkan conflict of interest dalam Perguruan Thawalib.
Kini dibawah Buya H. Jusri Jamrin, LC, MA sebagai Direktur Baru Perguruan Thawalib dan Prof. DR. Thamrin Kamal, MS sebagai Ketua Yayasan, Perguruan Thawalib akan kembali ke garda depan, mengemban misi dan visi mengabdi kepada ummat, berusaha mencetak ulama cendikia yang siap bersaing di era globalisasi.
Januari 16, 2008
Kategori: Edisi III . Tag:Profil Pesantren . Penulis: daurahkebudayaan . Comments: 22 Komentar