Pemberdayaan Pesantren

Oleh : Yadi. S

Mendengar kata pesantren jelas sudah tidak asing lagi. Sejak masa kolonial, pesantren sudah dikenal sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam yang melekat dengan kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Begitupun dalam sejarah-pembangunan Indonesia, peran pesantren cukup diperhitungkan. Selain sebagai bagian dari basis kehidupan masyarakat menengah ke bawah, juga jebolan-jebolan pesantren perlu mendapat acungan jempol. Sejak awal kemerdekaan sampai sekarang peran-peran para alumni pesantren cukup besar. Begitupun seterusnya pesantren tidak lagi dianggap kampungan atau ‘udik’, tapi pesantren telah tumbuh dan berkembang dan menjadi bagian masyarakat elit. Contohnya, hadirnya pondok modern Gontor, ponpes Suryalaya dan lain-lain.
Namun sayang, belakangan ini, gaung dan aroma pesantren seolah telah redup-menghilang ditelan arus globalisasi. Peran dan fungsi pesantren tidak lagi menggema seperti awal tumbuh dan berkembangnya. Justru sebagian masyarakat telah mengganggap bahwa pesantren bukan lagi lembaga pendidikan yang menjamin terhadap kebutuhan dan tuntutan hidup yang semakin hari terasa sesak di dada. Bahkan, cukup aneh hari ini pesantren seolah-olah dianggap sebagai lembaga pembuangan bagi anak-anak nakal.
Yayasan Kantata Bangsa menerbitkan sebuah buku dengan judul “Pemberdayaan Pesantren; Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan”. Buku yang terdiri dari 5 bab dan tebal 132 halaman itu, mencoba membahas problematika pesantren masa kini (bab 1), dengan diawali kata sambutan dari Prof. Dr. Azyumardi Azra, mencoba membahas serta menawarkan program pendidikan dan pelatihan pesantren era zaman mondern yang nota bene banyak menuntut para lulusan pesantren bukan hanya dapat menguasai baca kita kuning. Tapi diharapkan sesuai dengan misi visi daurah kebudayaan bahwa para santri diharapkan selain punya kualitas pemahaman terhadap ilmu pengetahuan klasik (kitab kuning), juga para santri diharapkan dapat menguasai segi keterampilan, manajeman kepemimpinan, organisasi dan lain-lain (bab 3). Terlebih para lulusan pesantren dengan ilmu dan bekal dari daurah kebudayaan dapat bersaing di era kompetisi pasar bebas dan globalisasi.
Selain itu juga, yang paling menarik dari buku ini adalah memuat langkah-langkah metode pelatihan (bab 3), mulai dari bagaimana cara seorang pemandu menguasai forum, sampai bagaimana seorang peserta merasa enjoy dalam belajar atau disebut metode pembelajar andragogi. Yaitu metode antara pemandu dan peserta merasa terlibat.
Alhasil, dalam pelatihan daurah kebudayaan kita dapat menemukan metode-metode yang cukup enak bagi seorang santri dalam memahami materi, terutama bagian materi kepemimpinan (94), Islam dan Ilmu Pengetahuan (102), sosiologi (107), dan problem solving (112). Menurut saya, materi-materi yang merupakan dasar itu sangat perlu untuk dipelajari. Terutama bagi santri yang sebagian besar diharapkan akan mampu menjawab persoalan-persoalan masyarakat yang di era globalisasi ini semakin hari, semakin komplek[]

 Judul:

Pemberdayaan Pesantren; Menuju Kemandirian dan Profesional Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan

Editor:

Jamaludin Malik

 Penerbit:

Pustaka Pesantren kerja sama dengan Yayasan Kantata Bangsa

Tebal Buku:

xxiv + 132 halaman

 

Syaikh Yusuf Qardhawi: “Darunnajah, Persemaian Generasi Unggul”

Di tengah musibah yang terus melanda bangsa, negeri ini tetap mendapat rahmat dari Allah ta’ala. Di awal Januari tahun ini (2007), bangsa Indonesia kedatangan tamu istimewa. Seorang ulama ternama asal Mesir, yaitu Syaikh DR. Yusuf al-Qardhawi melakukan kunjungan ke beberapa tempat di Jakarta. Di antaranya Istana Negara di Jakarta, rumah dinas Ketua MPR RI, pondok pesantren Darunnajah, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, masjid Istiqlal, dll.

Ulama terpandang yang populer dengan buku Fatwa-fatwa Kontemporer dan Halal dan Haram dalam Islam ini hadir di Indonesia atas undangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah berkunjung ke Qatar pada pertengahan tahun lalu. DR. Yusuf Qardhawi tak pernah segan untuk berkunjung ke Indonesia karena ia adalah bagian dari bangsa ini yang dikenal sebagai bangsa dengan mayoritas muslim, “Saya akan hadir tidak sebagai tamu, karena saya telah lama menjadi bagian dari bangsa Indonesia”, tutur ayah tujuh anak ini.

Setelah bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara di Jakarta Selasa (09/1). Keesokan harinya, Rabu (10/1) Syaikh Qardhawi mengunjungi Pondok Pesantren Darunnajah di Jakarta Selatan. Syaikh Qardhawi hadir di Darunnajah pukul 10.00 WIB dengan ditemani oleh Menteri Agama RI M Maftuh Basuni, Dirjen Bimas Islam Departemen Agama RI Nasaruddin Umar, Dubes Indonesia untuk Qatar dan Dubes Qatar untuk Indonesia dan disambut langsung oleh pengurus Darunnajah di Baitul Wakif (kediaman almarhum KH Abdul Manaf Mukahayyar). Untuk mengenang kedatangan Syaikh Qardhawi di Darunnajah, beliau menanam pohon jeruk bali di depan gedung Olahraga ponpes Darunnajah. Di samping itu ulama yang saat ini bertempat di Qatar menandatangani prasasti di Darunnajah yang kemudian memberikan tausiah di hadapan pengurus dan santri Darunnajah yang berjumlah 2.000 orang.

Santriwan-santriwati sangat senang dengan kedatangan ulama terpandang pada abad XXI ini yang telah menghasilkan 125 judul buku untuk menjawab problematika umat Islam saat ini, 70 judul di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Syaikh Qardhawi juga dikenal sebagi ulama yang memiliki karya-karya monumental dan fatwa-fatwa yang mudah dicerna oleh berbagai lapisan umat. Syaikh yang lahir di desa Shafth, Turab, Provinsi Manovia, Mesir, pada 1926 ini memberikan nasehat kepada para santri Darunnajah. Ia bangga dengan Darunnajah karena ia berpidato tanpa penerjemah, “Darunnajah ini luar biasa, saya berbicara tanpa penerjemah”, ujarnya dengan khas bahasa Arab Mesir.

Menurut ulama yang pernah aktif dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin ini Darunnajah adalah pabrik generasi unggul. “Saya bangga dengan Darunnajah, karena menyiapkan anak-anak muda untuk masa depan. Darunnajah ini adalah pabrik yang akan mencetak generasi unggul”, ungkap syaikh dalam pidato.

Dalam pidato yang singkat, syaikh banyak memberikan pesan baik untuk santri Darunnajah maupun umat Islam Indonesia. Di antaranya yaitu orang Islam hendaklah menunjukkan perilaku yang sesuai dengan ucapan. Kaum muslimin perlu menunjukkan kebersihan serta keramahan dalam pergaulan dengan orang lain. Ulama yang selalu menampilkan Islam secara santun dan moderat ini juga berpesan, “Hendaklah kita bangga dengan ke-Islam-an kita (al-i’tizazu bil Islam). Untuk itu hendaklah belajar bahasa Arab, karena sumber-sumber Islam berbahasa Arab. Dan hendaklah kita bangga dengan pesantren, karena pesantren mengajarkan bahasa Arab”, semangat syaikh dalam pidato.

 

 

Ustadz Haris Qodir, Pengajar Ponpes Darunnajah Ulujami, Jakarta Selatan

Pesantren Harus PD

Oleh : KH. Mahfudz Ridwan, Lc
(Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Edi Mancoro, Salatiga, Jawa Tengah)

Pesantren adalah sebuah wacana yang hidup, selagi mau memperbincangkannya-pesantren senaniasa menarik, segar dan aktual. Akan tetapi perlu dicatat, bahwa menyimak pesantren adalah laksana masuk ke hutan belantara. Sebab, pesantren mempunyai wajah yang multi dimensi dan kaya akan khazanah-khazanah yang sulit untuk dituangkan dalam teks yang bisa dibaca oleh setiap orang-orang. Sampai-sampai ada suatu guyonan bahwa agen intelejen sekelas CIA yang memiliki reputasi internasional serta mempunyai sistem kerja yang canggih sekalipun acapkali sulit menyandang informasi yang ada di pesantren gara-gara setiap kali rapat tidak ada nominasinya. Walaupun penuh dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang menaik adalah pesantren senantiasa percaya diri dalam menghadapi tantangan di luar dirinya.
Pesantren memang unik dan ekslusif. Dalam banyak perspektif, pesantren selalu menampakkan wajah yang terkesan tradisional, klasik serta apa adanya. Namun, tidak dapat dipungkiri dengan citra wajah yang muncul seperti itu, justru tidak lapuk dimakan zaman. Bahkan di tengah gempuran arus globalisasi yang kian menggila dan hedonisme masyarakat yang kian meningkat, pesantren tetap mampu memikat sebagai komunitas masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu. Pola kepemimpinan yang masih tetap mengandalkan kharisma kiyai serta keikhlasan dalam pengajaran justru diyakini oleh sebagian masyarakat kita sebagai sebuah metode yang paling efektif dalam menimba ilmu. Inilah yang kemudian oleh sebagian masyarakat kita dinamai sebagai “barokah” menuntut ilmu. Karena itu, jika dilihat dengan teleskop antropologis, pesantren dapat dibaca dalam berbagai aspek. Sebagai lembaga pendidikan, namun di sisi lain pesantren juga bisa sebagai sebuah identitas masyarakat yang strategis.
Namun berbicara mengenai pesantren, kita tidak boleh terjebak dalam romantisme sejarah egois yang menggiurkan. Kita harus tetap melakukan kritik dan autokritik terhadap pesantren itu. Sebagai sebuah entitas masyarakat yang strategis, pesantren justru gagal dalam mengemban misi perubahan bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Pesantren hadir seolah-olah sebagai sebuah bangunan tua yang berdiri “diam” dengan aroma kewibawaannya. Jarang kita temukan pesantren yang menjadi tempat transaksi gagasan dan segala persoalan yang bisa dikunjungi oleh masyarakat untuk saling bertukar pikiran baik antar masyarakat dan santri, maupun masyarakat dengan kiyai. Satu-satunya yang kita temukan bahwa pesantren hari ini hanya ibarat tempat hilir mudiknya santri untuk mengaji kitab kuning dengan rutinitas melakukan dialog bersama masyarakat dalam pemecahan problem-problem sosial yang menghimpit mereka. Kenapa bisa demikian?

Pesantren Harus Melakukan Pemberdayaan Masyarakat
Salah satu yang harus dilakukan pesantren untuk menjawab persoalan-pesoalan yang menghimpit masyarakat, bahwa pesantren harus tampil percaya diri (PD) dalam melakukan pemberdayaan masyarakat. Walaupun ketika berbicara mengenai pemberdayaan masyarakat kita sangat sulit untuk memulai. Namun untuk melakukan itu semua sebagai upaya penguatan civil society di Indonesia paling tidak ada beberapa prasyarat yang harus dibutuhkan. Di antaranya seperti yang pernah digagas pesantren Edi Mancoro; pertama, melakukan liberalisasi pandangan terhadap Islam sebagai upaya mendukung pluralisme, konstruksi teologi dan gerakan yang mampu memfasilitasi terwujudnya gagasan sosial yang berwatak ideologi emansipatorik. Hal ini mengingat bahwa potensi kekuatan Islam kultural yang bergerak di luar negara sangatlah kuat.
Kiat ulama pesantren yang menjadi entitas utama di wilayah Islam kultural sejak dekade terakhir ini sudah menumbuhkan semangat untuk melakukan kontekstualisasi ajaran agama dengan membuka pikiran dari luar. Tinggal yang belum dilakukan adalah mendorong ke arah yang lebih praktis dalam pemberdayaan masyarakat seperti buruh, nelayan, petani, kaum miskin kota, anak jalanan dan lain sebagainya. Sehingga ekselerasi yang seimbang ini akan memunculkan kekuatan yang luar biasa dalam melakukan perubahan di masyarakat. Namun, akankah pesantren mampu memikul amanah itu?
Hanya kita (kalangan pesantren) yang bisa menjawab..!!

 

 

Solahuddin Wahid : “Tidak Mungkin Pesantren Mengajarkan Terorisme”

Bagaimana tanggapan Bapak mengenai pesantren yang dicurigai, sebagai basis teroris?
“Beberapa pesantren” Jangan bilang pesantren! Sangat sedikit yang diawasi, sejumlah kecil pesantern kalau bilang semua pesantren yang diawasi, pesantren yang mana itu saya tidak tahu.

Dalam majalah tempo bulan Oktober, Sidney Jones menyebutkan ada 18 pesantren termasuk l uiversitas terkait dengan terorisme bagaimana menurut bapak?
Saya tidak tahu, tidak disebut namanya. Bagaimana saya bisa bilang. Kalau Tebuireng tidak mungkin. Denanyar juga tidak mungkin. Tanpa melihat namanya saya tidak bisa komentar. Maaf. Kalau ada sih, mungkin ada. Tapi saya tidak tahu. Jumlahnya juga saya tidak tahu.

Ada tiga pondok pesantren yang diawasi bagaimana menurut bapak ?
Saya juga tidak tahu. Tapi apa betul pesantren-pesantren itu mengajarkan, mendidik orang jadi brutal, atau cenderung melakukan tindak kekerasan. Apa iya begitu?

Tapi kenapa pesantren selalu dijadikan sasaran ?
Ya… kan kasus kemarin alumni dari Ngruki, kemudian dari Tengulun. Itu yang dijadikan dasar atau alasan kenapa pesantren dicurigai.

Beberapa pesantern dicurigai, diintimidasi, bahkan ada yang diculik. Kalau dilihat dari sisi HAM, bagaimana?
Kalau UU mengizinkan, asal semua prosedurnya ditempuh tidak masalah. Hak Azasi Manusia itu bukan tanpa batas. Kalau ada orang bermaksud membunuh, masak kita biarkan. Hak Asasi Manusia itu bukan tanpa batas. Masalah undang undang-nya saya tidak tahu.

Apakah ada lembaga yang bisa menjadi tempat pengaduan untuk membantu pondok-pondok pesantren?
Ya…ada, seperti ormas Islam. Mereka harus membantu. Bisa NU, Muhamadiyah. Bisa juga MPR, partai politik. Mereka harus membantu. Kemudian dicarikan titik temu agar kebutuhan untuk mengawasi jangan sampai terlalu jauh. Jangan sampai terjadi peristiwa-peristiwa seperti lalu dan itu yang tidak kita mau. Relitasnya seperti itu. Kalau mereka melanggar, ya… kita tolak.

Pesan bapak untuk pondok pesantren yang dicurigai?
Memperbaiki diri kalau memang betul ada bukti atau kecendrungan ke sana. Islam tidak mengajarkan ke situ (kekerasan, red.).

 

Hindari Misunderstanding Dunia Pesantren (Upaya Rekonstruksi Keseimbangan Lulusan Pesantren)

Oleh : Azam Syukur Rahmatullah, S.H. M.Si

Ustadz Pondok Pesantren Al-Kamal, Gombong, Kebumen, Jawa Tengah

Mendengar nama pesantren dalam dunia akademis kiranya sudah tidak asing lagi keberadaannya. Sebab bagaimanapun, pesantren telah menjadi pelopor pendidikan di bumi nusantara ini. Dengan bahasa lain pesantren inilah yang menjadi cikal-bakal legal-formal dari dunia pendidikan di Indonesia. Sehingga, wajar saja bila nama pesantren sudah cukup familiar di telinga siapapun dan di kalangan manapun.

Besarnya dunia pesantren tentunya diiringi pula dengan besarnya cobaan-cobaan yang menerpa. Baik kecil maupun besar, yang salah satu bentuk cobaan tersebut adalah “ketimpangan asumsi atau perspektif’. Hal yang paling mencolok dari “ketimpangan asumsi atau perspektif masyarakat” ini adalah mereka yang menyatakan bahwa “dunia pesantren adalah dunianya kaum teroris” atau pula dunia pesantren adalah dunia yang dikhususkan untuk anak-anak nakal, bandel dan beremosi negatif taraf tinggi, serta masih banyak lagi asumsi-asumsi non sense lainnya. Sedangkan, asumsi itu muncul, mungkin saja dikarenakan ketidaktahuan (unknown) mereka atas dunia pesantren yang sesungguhnya.

Dari berbagai misunderstanding atas dunia pesantren ini, ada satu hal yang menarik bagi penulis, yang kiranya bukan merupakan suatu aib jika dibahas, yakni perihal kesalahpahaman para wali santri pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya yang menyatakan bahwa dunia pesantren adalah dunianya Gatot Kaca, dunia pesantren adalah Kawah Candra Dimuka. Jadi, sudah pasti mereka yang keluar dari pesantren akan jadi orang besar, mereka pasti akan jadi kiyai, atau mereka pasti akan disegani masyarakat dan pula mereka pasti akan menjadi pembesar-pembesar masyarakat.

Demikianlah asumsi yang seringkali penulis dengar dari bibir-bibir para wali santri maupun masyarakat kebanyakan. Makanya tidak heran ketika adanya santri yang melenceng dari kaidah-kaidah kepesantrenan (al-qawa’idu al ma’ahid) maupun kaidah­-kaidah normativisme (al-qawa’idu al-islamiyah), mereka-yang berasmnsi keliru akan berujar begini : “Mana tanggung jawab pesantren? Sehingga banyak santri yang gagal menjadi orang, banyak santri yang tidak disegani ummat, banyak santri yang tanpa gelar kiyai, dan banyak santri yang menjadi penjudi dan sampah naasyarakat. Di mana peran pesantren yang sesungguhnya dalam membentuk dan menjadikan para lulusan santri yang berkualitas? Sehingga masih banyak santri yang bukan santri”. Begitulah, kira-kira bentuk protes yang seakan-akan menyalahkan pihak pesantren–dari mereka yang begitu besar menaruh harapan atas dunia pesantren.

Berpijak dari uraian di atas itulah perlu penulis tekankan di sini bahwa dunia pesantren bukanlah dunia yang penuh kepastian. Bahwa setelah keluar dari pesantren pasti akan menjadi kiyai atau ustad, yang semuanya terkesan serba menggiurkan (fantasticly). Dunia pesantren juga bukan dunia yang pengobral janji (al-kholiyu al­kalam), yang akan memberikan janji-janjinya kepada para santrinya bahwa jika masuk pesantren maka dijamin akan sukses, dijamin akan jadi kiyai, ustadz, ajengan atau apalah bentuknya. Sekali lagi penulis tegaskan tidak?

Dalam hal ini, pesantren hanyalah perantara (al-wasilah), pesantren hanyalah petunjuk jalan, dan pesantren hanyalah lahan “pengarahan”, yang sukses atau tidaknya santri tetap kembali kepada santri itu sendiri. Berhasil atau tidaknya santri ditentukan oleh seberapa besar pengaruh ajaran-ajaran kepesantrenan yang diresapinya, jika seorang santri memang belajar dengan sesungguhnya, tanpa adanya paksaan dan keterpaksaan, serta senantiasa mengedepankan nilai-nilai masa depan, maka niscaya santri tersebut akan cenderung ber-value positif-aktif-progresif. Dan besar kemungkinannya, akan mendapatkan gelar “santri yang mumtaz”, baik mumtaz dalam ranah kognitif, maupun mumtaz dalam ranah aplikatif, afektif dan psikomotorik. Dan tentu saja santri yang demikian diharapkan akan mudah mendapatkan kepercayaan ummat.

Namun berbeda, di kala pesantren sudah berupaya sekuat mungkin menunjukan jalan-jalan kebaikan dan kesuksesan di masa mendatang, di kala pesantren sudah berupaya membimbing santri ke jalan kebaikan (al-birr), dan di kala pesantren sudah berusaha mengarahkan santri ke jalan kemuliaan diri (karimatu an-nafs), namun, sebaliknya yang terjadi justru santri itu sendiri yang “ogah-ogahan”, dan cenderung stagnan-pasif dan tidak mau berkembang (sulit diajak maju), bahkan tidak sedikit yang cenderung menantang aturan ma’had, dan sebagainya. Hal demikian tentu saja akan sangat merugikan pihak santri itu sendiri. Kenakalan, kemalasan, dan kebandelan mereka justru akan menjadi bumerang bagi kehidupan diri semasa di pondok maupun sesudahnya. Padahal pihak pesantren tidak letih-letihnya berupaya mengajak mereka kembali ke ranah al-birr.

Jika sudah demikian, jangan heran jika muncul istilah “santri murtad”, alias “santri tapi bukan santri” atau “santri mbalelo“, yang efeknya bagi si santri semakin jauh dari kepercayaan ummat, semakin jauh dari posisi orang besar dan akan semakin jauh pula dari ” gelar kehormatan dunia-akhirat.

Karenanya, tidak bijak jika masyarakat pada umumnya dan wali santri pada khususnya menggantungkan 100% kepastian akan keberhasilan anaknya pada pesantren, dan tidak bijak pula jika menyalahkan pesantren di kala apa yang diharapkan (expectation) berupa kepastian keberhasilan seorang anak tidak sesuai dengan kenyataan (actual). Sebab bagaimanapun juga keberhasilan santri ada pada santri itu sendiri, pesantren hanya sebagai jembatan saja.

Oleh karena itu, yang terbaik untuk memunculkan para lulusan santri mumpuni maka kedua pihak antara pesantren-santri harus aktif-konstruktif tidak pasif-destruktif dan saling menyadari pentingnya nilai-nilai (values) kepesantrenan dan berbagai ajarannya.

Perguruan Thawalib Padang Panjang; Jihad Fisabilillah dan Membangun Komitmen Kolektifitas

Matahari belum tenggelam, menyinari jagat raya. Kehangatan senja menemani insan yang pulang ke rumah masing-masing. Tepat pada saat adzan maghrib berkumandang, reporter DK sampai di depan sebuah gapura bertuliskan “marhaaban bi qudumikum“. Ya…sebuah ucapan hangat yang khas untuk menyambut kedatangan para tamu, baik yang hanya mampir saja untuk sholat, ataupun bagi para tamu yang sengaja berkunjung. Di dalamnya tampak bangunan masjid dengan ciri arsitektur Minangkabau, yang walaupun kelihatan tua, tapi masih tetap utuh dan berdiri dengan megahnya.

Tiada lain, kalau bukan Perguruan Thawalib. Ya, pesantren yang didirikan oleh Dr. H. Abdul Karim Amrullah pada tahun 1911 itu, aromanya masih tetap menggema sebagai sebuah perguruan yang telah lama malang-melintang di dunia pendidikan. Berdiri tegak di antara dua kaki gunung, yaitu gunung Tandikat dan Singgalang. Di sebuah perkampungan yang masih mencitrakan adat istiadat yang kuat serta kultur yang masih melekat menjadi pijakan warganya. Untuk menuju ke Perguruan Thawalib sangatlah mudah, selain karena keterkenalan pesantrennya, juga letaknya sangat strategis, berada di tengah kota Padang Panjang (sekitar 80 km dari kota Padang).

Perguruan Thawalib merupakan salah satu contoh sebagai pesantren yang masih bertahan dari mulai zaman penajajahan Belanja hingga zaman modern ini. Dari tahun 1911 sampai sekarang, bukanlah waktu yang singkat, apalagi untuk mempertahankan ciri khas pesantren. Ciri khas pendidikan pesantren, kultur dan spirit perjuangan masih tetap terjaga.

Pase demi pase telah dilewati oleh perguruan Thawalib. Pada tahun 1923, Perguruan Thawalib terlibat dan ikut berjuang melawan segala bentuk imperialisme. Kemudian pada tahun 1926, Padang Panjang dilanda gempa bumi, sehingga memporakporandakan kota indah tersebut, termasuk bangunan Perguruan Thawalib yang pada waktu itu sedang mekar-mekarnya.

Sempat juga mengalami masa kemandegan ketika terjadi pergolakan hebat pada tahun 1958. Saat itu, situasi di Sumatera tidak aman, perekonomian mengalami kehancuran, sehingga lembaga-lembaga pendidikan termasuk Perguruan Thawalib Padang Panjang pun mengalami kemandegan.

Alhasil, semuanya dilalui secara almiah, seolah sunnatullah bagi Perguruan Thawalib yang harus dilewati dengan semangat pantang menyerah. Gigih berjuang melawan imperialisme Belanda, PKI bahkan musibah sekalipun. Sehingga wajar kalau gerak jihad fi sabilillah menjadi tonggak garda depan yang diemban Perguruan Thawalib.

Secara kepemimpinan, Perguruan Thawalib pernah dipimpin oleh  Dr. H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), kemudian Datuk Panglimo Kayo, Engku Mudo Abdul Hamid Hakim, Buya Mawardi, Buya Drs Abbas Arif, Prof. DR. Thamril Kamal, MS dan sekarang ini dipimpin oleh Buya H. Jusril Jamarin, LC, MA (baru ditetapkan dan mulai berkiprah sejak Januari 2006 ini). Walaupun terdapat perbedaan pola kepemimpinan, akan tetapi semua komponen masyarakat Sumatera Barat dan Padang Panjang khususnya senantiasa mengenal dan mengakui integritas kepemimpinan Perguruan Thawalib. Sebab, di samping kekuatan personal, kepemimpinan Perguruan Thawalib ditandai dengan adanya kepemimpinan kolektif dan kebersamaan.

Kepemimpinan dilakukan secara terpadu di bawah satu kepengurusan dengan pembagian tugas dan kerja yang jelas dan terarah. “Ya, kepemimpinan di Perguruan Thawalib sangat mengedepankan kolektifitas…” jelas Prof. Dr. Thamrin Kamal, MS, mantan Direktur Perguruan Thawalib yang sekarang menjabat sebagai Ketua Yayasan Perguruan Thawalib.Dari aspek pembelajaran, Perguruan Thawalib sangat mengedepankan pada adanya “hurriyatul fikri” atau kebebasan berfikir dan aspek “perjuangan.” Dengan metode ini santri tidak hanya mengikut akan tetapi memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan, baik dalam konteks pemahaman teologis, fiqih maupun dalam konteks sosial kemasyarakatan lainnya. Namun yang sangat mendasar adalah bahwa santri harus memiliki jalan hidup yang islami, berpegang teguh kepada kebenaran serta memiliki etos kerja yang tinggi sehingga berguna bagi masyarakat.

Dari segi kurikulum, Perguruan Thawalib, di samping kurikulum pesantren, juga mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Agama, baik pada tingkat Tsanawiyah maupun Aliyah serta keterampilan komputer dan lain-lain sebagainya. Walaupun terasa berat oleh santri, akan tetapi hasil dari didikan Perguruan Thawalib ini berhasil memasuki perguruan tinggi baik umum maupun agama, bahkan setiap tahun, dengan dukungan beasiswa dari masyarakat beberapa santri Thawalib diterima di Universitas Al Azhar Kairo dan Universitas lainnya.

Dengan dasar hurriyatul fikri tadi, Perguruan Thawalib tidak berafiliasi dengan partai politik apapun. Walupun beberapa orang  Thawalib ada yang aktif di partai politik seperti PPP, PAN, Partai Golkar dan partai politik lainnya, hal itu bukan merupakan kebijakan Perguruan, tetapi merupakan bagian dari kebebasan berfikir. Dan ketika masuk ke Thawalib mereka yang aktif di partai politik tadi harus meninggalkan baju partai, agar tidak menimbulkan conflict of interest dalam Perguruan Thawalib.

Kini dibawah Buya H. Jusri Jamrin, LC, MA sebagai Direktur Baru Perguruan Thawalib dan Prof. DR. Thamrin Kamal, MS sebagai Ketua Yayasan, Perguruan Thawalib akan kembali ke garda depan, mengemban misi dan visi mengabdi kepada ummat, berusaha mencetak ulama cendikia yang siap bersaing di era globalisasi.

Menguak Misteri Pesantren; Mengembalikan Jati Diri Pesantren

Kalau kita sempat jalan-jalan ke beberapa daerah di Indonesia, pasti sepanjang jalan pandangan kita tidak akan lepas dari sosok bangunan yang bertuliskan Pondok Pesantren. Sebuah nama yang tak asing lagi di telinga kita, nama yang telah malang-melintang dalam sejarah Indonesia. Namun, belakangan ini sosok pesantren seolah telah menjadi misteri yang sangat menakutnya. Gembong dan pelaku jaringan kekerasan seolah telah identik dengannya. Sebagian besar masyarakat secara otomatis terstigma, apalagi media massa baik cetak atau elektronik sering memberitakan pesantren sebagai sarang terorisme.

Berbagai asumsi dan bantahan-pun terus mengalir. Seminar, semiloka ataupun diskusi-diskusi lainnya pun digelar demi membela pesantren. Ada apa sebenarnya dengan pesantren? Benarkah pesantren seram dan menakutkan? Pertanyaan-pertanyaan inilah tentunya yang menjadi PR bagi semua kalangan yang terlibat dalam dunia pesantren.

Tak hanya itu, anggapan bahwa pesantren eksklusif pun muncul belakangan ini. Sehingga sangat wajar kalau pesantren hari ini dianggap kaku, bahkan ada sebagian pesantren yang masih menolak terhadap globalisasi.

Beberapa waktu yang lalu reporter Buletin DK sempat melakukan wawancara dengan KH. Syukron Ma’mun, pimpinan Pesantren Darurrahman, di bilangan Kebayoran Baru Jakarta Selatan. 

Belakangan ini di masyarakt timbul anggapan bahwa pesantren itu kuno dan ketinggalan zaman, bagaimana pendapat Anda?

Kok, dikatakan kuno dan ketinggalan zaman, tokoh-tokoh yang sekarang tampil itu apa tidak banyak yang dari pesantren. Itu kan sengaja untuk menyudutkan! (pesantren–red) 

Apa buktinya kalau pesantren itu tidak ketinggalan zaman? 

Di pesantren Daarul Rahman misalnya, diajarkan pelajaran SMA ditambah pelajaran pondok. Apa yang seperti itu ketinggalan zaman? Di sini belajar matematika, fisika, kimia, masa ketinggalan? Memang ada pesantren yang mengajarkan agama saja, tapi apa pelajaran agama dianggap kuno? Soal informasi, di Daarul Rahman, kita mencetak ahli agama yang tidak ketinggalan informasi, anak-anak langganan surat kabar, komputer juga diajarkan. Lantas, kenapa kemunduran bangsa diakaitkan dengan pesantren? Padahal pemuda yang belajar di pesantren tidak sampai 10%, sedangkan yang 90%-nya masuk sekolah umum, kenapa tidak menyalahkan yang 90%. 

Lalu apa kelebihan pesantren dari sekolah lainnya? 

Kelebihan pesantren itu umumnya pada soal akhlak, disiplin berpakaian. Satu-satunya pendidikan yang tidak dipengaruhi budaya barat, itu pesantren. Kenapa itu tidak dilihat oleh masyarakat?. 

Bagaimana dengan anggapan bahwa pesantren itu identik dengan “tempat pembuangan” anak nakal?

Nggak bisa, mungkin ada beberapa kasus, tapi jangan satu fenomena kemudian digeneralkan. Ini kesalahan public opini. Kalau ada orang tua yang memasukan anaknya ke pesantren karena sudah ke sana kemari masih tetap nakal, itu bukan pembuangan tapi tempat untuk mendidik, di tempat pendidikan lain belum berhasil mungkin di pesantren bisa. Apalagi kalau ada anak nakal dimasukan pesantren jadi baik itu kan bagus, satu kelebihan. 

Apa pesan Anda  untuk pesantren di Indonesia?

Kita menganjurkan setidak-tidaknya pelajaran umum diajarkan supaya santri tidak buta sama sekali, dasar-dasarnya saja cukup. Tapi tetap tujuan dari pesantren jangan dilupakan. Sekarang ini ada orang yang kelihatannya peduli pada pesantren padahal niatnya utuk menghancurkan pesantren. Biasanya orang seperti ini bilang: “Pondok pesantren itu merupakan sandaran dan tumpuan umat di mana diharapkan  dari pesantrem muncul kader-kader Islam yang baik. Alangkah baiknya di samping mempelajari agama pondok pesantren juga mempelajari soal medis, teknologi, elektronik dan ilmu-ilmu lainnya, sehingga lulusan pondok pesantren siap pakai”. Ini maksudnya agar pondok pesantren gagal, tidak dapat menghasilkan Kiai. Tapi menghasilkan orang yang setengah-setengah, ahli agama nggak ahli lainnya juga nggak. (Dwi Budiman—red)

***

Daarul Rahman didirikan pada tahun 1975, sekarang sudah memiliki 1.800 santri dan tiga buah tempat, di Leuwiliang Bogor, Sawangan Depok dan di Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Sistem yang dipakai merupakan kombinasi dari sistem Pondok Pesantren Modern Gontor untuk masalah bahasa dan sistem Salafiyyah untuk masalah baca kitab kuning. Sehari-hari santri wajib menggunakan bahasa Arab dan Inggris, bahasa pengantar di sekolahpun kedua bahasa asing tersebut. Untuk memaksimalkan pembinaan, seluruh santri wajib mondok, hal ini tidak terlepas dari tujuan pondok, yaitu ”Kami ingin membentuk kader ulama yang berwawasan intelektual” ujar K.H. Syukron. Salah satu kelebihan pesantren ini, ijazahnya diakui oleh pemerintah maupun universitas di Timur Tengah tanpa harus mengikuti ujian negara, “Kami mengucapkan terima kasih kepada pemerintah atas kepercayaan ini” kata K.H. Syukron.